RAKYAT DAN PUBLIK
KOMUNIKASI POLITIK
PEMILU 2014 LALU
SETELAH
perang dunia pertama (1914-1918), ada harapan besar untuk perubahan di Italia.
Melihat suksesnya kaum pekerja di Rusia menggulingkan kekejaman rezim Tsar,
rasa optimisme menjalar dalam semangat rakyat kelas bawah, bahwa perubahan yang
sama akan terjadi di Italia. Pertentangan antara kelas penguasa dan rakyat
meningkat sengit, sementara rakyat aktif bergerak dengan berkumpul, mogok dan
demonstrasi. Di tengah intensitas ‘kekacauan’ ini, kelas penguasa bangkit dan,
dengan memanfaatkan sentimen nasionalisme, berjanji akan memulihkan ketertiban
dan keamanan dan mengembalikan kemakmuran bangsa. Mereka menang dan berhasil
menempatkan rezim fasis di bawah kepemimpinan Benito Mussolini. Masyarakat umum
dan aktivis, yang tadinya aktif, terkooptasi. Ada yang diintimidasi para
penguasa, ada juga yang terpikat oleh daya tarik retorika fasis. Dari balik
penjara, Antonio Gramsci, salah satu aktivis yang menentang penguasa,
menghabiskan waktunya memikirkan kegagalan pergerakan rakyat ini. Mengapa dan
bagaimana, Gramsci bertanya, pergerakan yang sangat berpotensi ini bisa
digagalkan oleh kelas penguasa?
Pemilu
2014 di Indonesia diliputi perasaan yang mirip dengan masa ‘kekacauan’ yang
dihadapi Italia, tepat sebelum rezim Mussolini berkuasa. Setelah tumbangnya
rezim Suharto enam belas tahun silam, semangat perubahan reformasi mulai
diliputi rasa pesimis. Sementara wajah-wajah Orde Baru kembali bermunculan
dalam panggung politik bersekutu dengan sebagian para elit reformasi. Sementara
itu, sebagian mantan aktivis 1998 yang dulu menentang orde baru
berbondong-bondong berbalik mendukung persekutuan ini. Bagaimana kita memahami
konfrontasi politik antara berbagai kelompok—pro Prabowo, pro Jokowi dan
Golput—sebagai potret masyarakat kita saat ini dan bagaimana pemahaman ini
membantu kita menjelaskan kebutuhan pergerakan sekarang?
Enam
dari total sembilan tahun masa pemenjaraannya,Gramsci menghabiskan waktunya
untuk bergelut dengan pertanyaan di atas. Konsep ‘hegemoni’ adalah salah satu
buah pikiran yang ia kembangkan dalam Prison Notebooksuntuk menjawab pertanyaan
tersebut. Hegemoni, menurut Gramsci, adalah kepemimpinan politik berdasarkan
konsensus (consent), atau persetujuan, mereka yang dipimpin. Konsensus ini didapatkan
dengan menyebarkan dan mempopulerkan pandangan kelas penguasa, membuatnya
sebagai nalar wajar (common sense) dan mereproduksikannya kembali sebagai
kewajaran dan kalau bisa kebutuhan masyarakat itu sendiri. Peranmasyarakat
sipil—seperti gereja/mesjid, sekolah, seni dan media—sangat besar dalam proses
ini. Karena kepemimpinan bergantung pada konsensus masyarakat, segala bentuk
kekerasan berupa kekuatan militer dan polisi diminimalisir. Kekerasan negara
hanya akan dibutuhkan ketika melalui konsensus hegemoni penguasa tidak lagi
dapat dicapai. Dengan konsep ini, Gramsci berhasil menjelaskan bahwa, meskipun
didukung oleh kepentingan elit yang bejat, pemikiran-pemikiran fasis justru
populer karena disyiarkan dengan kata-kata manis yang seolah masuk akal.
Mesin
penggerak hegemoni adalah propaganda. Propaganda merupakan alat komunikasi
penting yang membentuk opini publik. Propaganda membentuk sikap, tindakan dan
pikiran masyarakat. Medium utamanya adalah media massa. Bentuk propaganda
bermacam-macam, ada mitos, simbol, retorika dan lain lain (lihat Panduan
Analisis Propaganda untuk Pemilu 2014). Propaganda seringkali juga menggunakan
‘kebenaran’ dan ‘ilmu pengetahuan’ dengan memanipulasinya atau dengan
menggunakan kebenaran sepihak. Contoh kasus dalam pemilu 2014 adalah
survei-survei polling yang tidak jelas akurasi datanya. Oleh karena itu,
‘fitnah’ dan ‘kampanye hitam’ hanyalah sebagian kecil teknik yang digunakan
dalam propaganda. Untuk memahami pertarungan hegemoni di Indonesia, kita akan
memahami propaganda tim Prabowo vs. tim Jokowi dan menjelaskan fenomena
sosiologi macam apa yang ada dalam masyarakat kita.
Kita
mulai dengan propaganda tim Prabowo. Slogan retorika tim Prabowo adalah
‘selamatkan Indonesia’. Walaupun tidak jelas Indonesia harus ‘diselamatkan’
dari ‘siapa’/’apa’?, tetapi slogan ini justru efektif untuk melancarkan dua
alat propaganda lainnya. Pertama adalah ‘pembentukan ‘musuh’ bersama’. Slogan
ini cair, artinya di depan kaum Islamis garis keras seperti FPI, musuh yang
dibuat adalah Muslim Syiah, Ahmadiyah, orang Cina, kaum Nasrani; di depan
‘rakyat miskin’, musuh adalah pengusaha neoliberal, ‘para pencuri uang rakyat’
dll; sementara di depan kaum nasionalis, musuh yang dibayangkan adalah segala
bentuk ancaman dari luar/asing. Konstruksi ‘musuh’ ini ampuh untuk melancarkan
alat propaganda kedua, yaitu rasa urgensi (sense of urgency). Perasaan untuk
segera bertindak ini tidak diarahkan berdasar pada riset yang matang dan
kalkulasi langkah strategi yang jelas, tetapi lebih oleh ‘rasa takut’ bahwa ada
bahaya laten menghadapi bangsa. Seperti kebanyakan alat propaganda tradisional
lainnya, propaganda ini beroperasi dengan mengeksploitasi emosi masyarakat dan
bukan membangun cara berpikir yang logis.
Sentimen
yang muncul dari pembentukan rasa takut secara kolektif ini sejalan dengan
citra yang dibangun tentang Prabowo. Karena ada ‘musuh’, maka kita butuh
pemimpin militeristik yang ‘kuat’, ‘tegas’, ‘berani’ dan ‘agresif’. Kebutuhan
ini pun diadopsi para simpatisan Prabowo, salah satunya dalam lirik lagu Ahmad
Dhani berikut:
‘Kita butuh pemimpin yang kuat
Kita butuh pemimpin yang tegas
Yang bisa bawa bangsa ini
menjadi bangsa nomer satu.
Sekarang atau tidak sama
sekali
…
Inilah satu2nya kesempatan
kita untuk jadi
Bangsa yang besar dan ditakuti
Bangsa yang disegani
dihormati’ …
[Suara Prabowo] ‘Kalau bukan
sekarang kapan lagi’
Citra
‘ksatria militer ideal’ pun dibangun dengan simbol-simbol tradisional. Prabowo
menggunakan burung garuda untuk melekatkan ide nasionalisme, sementara kuda dan
keris digunakan untuk memainkan nostalgia ksatria militer Jawa. Rasa ‘aman’
yang ditawarkan dengan simbol-simbol ini bekerja melalui pembentukan ide
pemimpin yang patriotik, militeristik yang akan ‘memenangkan’ Indonesia menjadi
‘bangsa yang ditakuti, disegani dan dihormati’ melalui penaklukan ‘musuh’.
Tentu saja mitos yang dibangun ini dilakukan dengan memanfaatkan latar belakang
militer Prabowo, tetapi pembangunan mitos sebagai ksatria militer ideal ini pun
berguna untuk menutupi karir buruknya di TNI. Bagaimana pun, mitos pemimpin
yang jelas tidak realistis ini mengeksploitasi sentimen sebagian masyarakat
yang merasa bahwa penyelesaian masalah bangsa yang begitu kompleks akan selesai
dengan datangnya ‘ratu adil’.
Citra
Prabowo sebagai ‘ratu adil’ ini dibangun dengan teknik-teknik estetika visual
yang khas dalam iklan-iklan kampanyenya yang mengingatkan kita dengan teknik
yang juga digunakan dalam propaganda Orde Baru. Teknik yang pertama adalah
dengan membangun sosok narsisistik, sosok ‘aku’. Perhatikan hampir semua iklan
TV Prabowo yang disponsori partainya dipenuhi oleh foto, aktivitas, cuplikan
suara dirinya. Berbagai aktivitas masyarakat—petani, guru, nelayan—hanya
menjadi latar belakang pembangunan sosok ini. Teknik kedua adalah pengambilan
gambar dan voice-over yang dibiarkan impersonal dan berjarak, seakan-akan kita
semua sedang menyaksikan Prabowo tanpa ikut di dalamnya. Bagi masyarakat yang
terbiasa dengan struktur kepemimpinan hirarkis dan vertikal, pembuatan jarak
ini berfungsi untuk membangun karakter pemimpin yang ‘sakral’, turun dari
langit dan tidak sejajar dengan kawula rendahan.
Yang
paling menarik dari propaganda tim Prabowo adalah, selain mengadopsi pencitraan
tubuh Sukarno (lihat tulisan ‘Dua Tubuh Sukarno‘), Prabowo juga mengadopsi
pencitraan Suharto. Selain menggunakan teknik estetika visual ala Orba yang
sudah dijelaskan di atas, dalam orasi-orasinya dan juga debat presiden yang
pertama, Prabowo melafalkan akhiran ‘kan’ dengan ‘ken’ yang khas Suharto,
seperti ‘mengandalken’ dan ‘inginken’ (cat: Sukarno juga melafalkan ‘kan’
dengan ‘ken’, tapi pelafalan ini lebih lekat dengan pencitraan Suharto yang
dibangun lewat pidato-pidatonya di televisi). Kita tahu bahwa kedua presiden
memiliki sejarah politik kepemimpinan top-down, Sukarno dengan demokrasi
terpimpinnya sementara Suharto dengan kediktatorannya. Mitos sosok ‘pemimpin kuat’—dengan
orasi yang berapi-api dan pemimpin tangan besi—diadopsi, digabungkan dan dibuat
untuk membangun nostalgia romantisme masa ‘kejayaan’ Indonesia—melawan koloni
di jaman Sukarno dan sukses pembangunan di jaman Suharto.
Salah
satu fungsi media adalah menetapkan agenda (agenda-setting), artinya melalui
media para propagandis dapat mengalihkan perhatian masyarakat pada isu
tertentu, sementara isu lain sengaja ditutupi dan diabaikan. Dalam kampanyenya,
tim Prabowo fokus pada pencitraan Prabowo sebagai pemimpin yang kuat dan tegas.
Tidak heran kalau seorang simpatisan ditanya mengapa pilih Prabowo, jawabannya
adalah ‘karena dia pemimpin yang kuat dan tegas’. Dari kacamata politik
komunikasi, ini brarti propaganda Prabowo sukses. Tapi Propaganda berdasar pembangunan
citra dan bukan ide akan menjadi bumerang bagi Prabowo sendiri. Sebenarnya
bagaimana Prabowo akan memimpin, apa maksud ‘kuat dan tegas’ dan apa rencana
Prabowo untuk Indonesia? Untuk itu mari kita membongkar visi-misi tertulisnya.
Visi
misi tim Prabowo sangat pendek—8 halaman lebih sedikit. Isinya berupa daftar
program-program yang akan dilakukan dan tidak ada penjelasan kenapa program a
dan b, misalnya, penting untuk dilakukan. Saya membatasi analisis saya hanya
pada pertanyaan berikut: bagaimana tim Prabowo membayangkan kita, yang
dipimpin? Dan bagaimana rencananya dalam berkomunikasi dengan kita?
Strategi
pertama saya adalah dengan melihat pilihan katanya. Tim Prabowo dalam visi
misinya menggunakan kata ‘rakyat’ 23 kali, kata ‘bangsa’ 11 kali dan kata
‘publik’ 1 kali. Selain itu, digunakan terminologi teknis seperti: ‘penduduk’,
‘si miskin’, ‘si kaya’, ‘angkatan kerja’, ‘pekerja’, ‘dunia usaha’, ‘pedagang
kecil’, ‘buruh’ ‘orang kaya’ dan ‘kelas menengah’. Terminologi ini adalah
istilah teknis karena penggunaannya lebih bersifat pengelompokan berdasar
penghasilan maupun tipe pekerjaan, artinya keduanya berhubungan langsung dengan
proyek ekonomi. Yang menarik perhatian saya justru penggunaan kata ‘rakyat’.
Kata ‘rakyat’ sudah sejak dulu digunakan para pemimpin untuk mengacu pada ‘yang
dipimpin’.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), ‘rakyat’ berarti ‘penduduk suatu negara’,
tapi ia juga bisa berarti ‘orang kebanyakan’, ‘orang biasa’ dan ‘bawahan’. Kata
‘rakyat’ pun sering digunakan untuk memberi makna bahwa seorang pemimpin ketika
ia ingin sejajar dengan rakyat dia akan ‘merakyat’, kalau dia ingin
‘pro-rakyat’ dia akan mengaplikasikan ‘ekonomi kerakyatan’. Namun, dalam
sejarahnya, kata ‘rakyat’ pun memiliki makna implisit yang hirarkis di mana rakyat
adalah massa yang pasif: rakyat di bawah; pemimpin di atas, rakyat manut;
pemimpin mengayomi, rakyat dicerdaskan; pemimpin mencerdaskan. Hubungan
patriarkal dan infantilisasi ‘rakyat’—pemimpin sebagai bapak dan rakyat sebagai
anak—terlihat dengan jelas dalam lagu ‘Bapak Kami Soeharto‘ berikut ini yang
diciptakan Titiek Puspa di tahun 1990an di masa rezim Suharto:
Sujud kami bagimu yang esa
Terima kasih atas karunia
Sandang, pangan, pembangunan
Kau limpahkan bagi negri
Indonesia
Sorang bapak yang telah kau
cinta
Tuk memimpin negeri tercinta
Wibawanya dan senyumnya
Memberi ceria wajah Indonesia
Kepadamu Bapak kami Suharto
Terima kasih dari rakyat semua
Di belakangmu kami siaga
Demi kejayaan Indonesia
Kepadamu bapak kami Suharto
Terima kasih dari rakyat semua
Di dadamu kami sembahkan
Bapak pembangunan Indonesia
Analisis
kedua yang saya lakukan adalah mencari program konkret dalam visi misi Prabowo
tentang bagaimana negara akan berkomunikasi dengan warga negara dan apakah
komunikasi dua arah ini dianggap perlu dalam proses bernegara. Hasilnya, tidak
saya temukan program komunikasi bernegara yang spesifik dalam visi misi
Prabowo. Seperti pemerintahan sebelumnya, komunikasi hanya dipandang dalam
kacamata instrumentalis, salah satunya dalam hal pengembangan ‘industri
nasional’. Alat transportasi (I.5 dan VI.2) yang merupakan infrastruktur
komunikasi fisik, misalnya, yang penting dalam kontak komunikasi dan interaksi
antar setiap manusia dalam sebuah negara hanya dilihat sebagai kebutuhan
perekonomian dibanding kebutuhan sosial pembangunan karakter warga negara.
Begitu
pula teknologi komunikasi sosial hanya mendapat perhatian sekilas dalam
hubungannya sebagai ‘instrumen’ komunikasi dalam konteks ekonomi atau birokrasi
(I.8.b, II.6.8. Dan VI.6) dan bukan untuk kebutuhan sosial, misalnya:
‘Meningkatkan keharmonisan hubungan industrial dengan jalan memperbaiki
koordinasi dan komunikasi antara pekerja, dunia usaha dan pemerintah’
(I.11.b.)—walaupun kita tahu permasalahan yang dihadapi kelas pekerja bukan
masalah ‘miskomunikasi’ semata. Pandangan terhadap komunikasi yang
‘instrumentalis’ ini mengimplikasikan pandangan yang juga ‘instrumentalis’ pada
masyarakat.
Lalu,
bagaimana dengan propaganda tim Jokowi?
Kampanye
tim Jokowi bisa dibilang menarik karena mereka menggunakan teknik yang sama
sekali baru dan tidak menggunakan teknik tradisional yang biasa dilakukan dalam
kampanye-kampanye presiden sebelumnya. Tekniknya fokus pada pembangunan
komunitas. Slogan kampanyenya misalnya, ‘Indonesia hebat’ (atau ‘Jakarta baru’
di masa pencalonan gubernur), membangun rasa bangga dan ‘mandiri’ yang juga
merupakan bagian dari visi misi tertulisnya. Simbol Jokowi yang paling dikenal
mungkin adalah baju kotak-kotak merah, yang menjadi populer ketika dia
mencalonkan diri menjadi gubernur Jakarta dua tahun lalu. Baju kotak-kotak
memiliki kesan tidak formal dan santai jadi efektif dalam memikat anak-anak
muda (apalagi di antara anak muda perkotaan, baju kotak-kotak identik dengan
kaum hipster). Jokowi juga identik dengan kemeja putih polos dengan lengan
tangan dilipat ke atas, sehingga ia sering dianggap mengidentifikasi diri
dengan kaum pekerja—bukan kelas berjas dan berdasi—dan membuat citra sosok
kelas bawah yang sederhana.
Iklan
TV kampanye Jokowi juga tidak memunculkan foto maupun aktivitas Jokowi,
kecuali, dalam beberapa iklan, Jokowi muncul diakhir iklan untuk mempromosikan
partainya. Yang lebih menarik lagi adalah penggunaan kata ‘kita’ dalam
voice-over beberapa iklan, salah satunya ini:
‘Kita ingin pemimpin jujur
Kita ingin pemimpin bersih
Kita ingin pemimpin sederhana
Tapi
Siapkah kita dipimpin untuk
menjadi jujur?
Siapkah kita dipimpin untuk
menjadi bersih?
Siapkah kita dipimpin untuk
menjadi sederhana?
Bersama pemimpin yang lahir
dari rakyat?
Kita siap menjadi Indonesia
sebenarnya.
Jokowi-JK adalah kita.’
Penggunaan
kata ‘kita’ memberikan rasa inklusif bagi penonton. Hubungan antara Jokowi dan
penonton jadi tidak berjarak dan lebih personal. Hubungan pemimpin dan yang
dipimpin pun dibuat kooperatif—ada kerjasama dua arah. Ini sesuai dengan
orientasi kampanyenya yang berorientasi pada pembentukan komunitas tadi. Tidak
heran kalau Jokowi juga mempopulerkan aktivitas ‘blusukan’ yang juga menjadi
simbol propaganda Jokowi. Dalam blusukan, jokowi membuat politik komunikasi
yang dua arah—saling mendengar dan memberi masukan, dan membentuk hubungan yang
personal dengan calon pendukung. Politik komunikasi dua arah seperti ini
memungkinkan masyarakat menggunakan kemampuannya untuk menjadi ekstensi
propaganda, dengan menjadi relawan, ikut kampanye dll. Tidak heran kalau
dukungan kepada Jokowi banyak bermunculan dengan turunnya masyarakat ke jalanan
dengan menjadi relawan, membuat radio komunitas Jokowi-JK, membuat
selebaran/koran (seperti koran Bakti), membuat kampanye lewat blog, twitter,
facebook, membuat lagu simpatisan (seorang kawan menemukan lebih dari 60 lagu
di youtube yang dibuat oleh masyarakat umum untuk dukung Jokowi-JK), dan, yang
lebih penting lagi, pendanaan massal untuk kampanye (crowdfunding).
Dengan
membangun rasa komunitas dan hubungan kerjasama horisontal, tim Jokowi berhasil
mengorganisir masyarakat dan merangsang munculnya aktivitas-aktivitas dari
bawah ke atas (bottom up) untuk mengkampanyekan dirinya. Sosial media juga
berperan dalam hal ini, pengguna media sosial meng-share berita positif tentang
Jokowi, ikut membela Jokowi apabila ada ‘kampanye hitam’,menulis blog, membuat
lagu di youtubedll. Teknik propaganda dan pembentukan wacana yang inovatif ini,
yang berorientasi pada pembentukan komunitas, justru lebih efektif memikat
masyarakat dibanding latar belakang partai Jokowi, yaitu PDI-P.
Bagaimana
kemudian tim Jokowi membayangkan ‘kita’? Apa rencana Jokowi, kalau ada, tentang
proses komunikasi antara negara dan warga negara? Tim Jokowi menggunakan konsep
‘publik’ sebagai rencana komunikasi politiknya; penggunaan konsep ini belum
pernah sebelumnya secara sadar digunakan dalam kampanye presiden terdahulu.
Dari visi-misinya yang berjumlah 41 halaman itu, tim Jokowi menggunakan kata
‘bangsa’ 51 kali, ‘publik’ 41 kali, ‘masyarakat’ 28 kali, ‘warga negara’ 17
kali, ‘rakyat’ 14 kali dan ‘manusia’ 13 kali. Dari sini, kata ‘bangsa’ dan ‘publik’
adalah dua kata yang paling dominan digunakan untuk mengacu pada masyarakat
yang akan dipimpin. Saya ingin memberikan perhatian pada kata ‘publik’ ini.
Kata ‘publik’ di masa orde baru memang bukan bagian dari kosa kata pemerintahan
dan hanya populer di kalangan aktivis. Kata ini baru masuk dalam kosa kata
perpolitikan Indonesia di masa reformasi, contohnya dalam reformasi
undang-undang penyiaran di masa Megawati yang menugaskan pengadaan ‘institusi
publik’ untuk mengawasi penyiaran, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Apakah makna ‘publik’? ‘Publik’ sebenarnya merupakan konsep yang sering
dikontraskan dengan ‘massa’. ‘Publik’ terdiri dari warganegara yang secara
aktif ikut dalam pembentukan opini dan sikap untuk mengritik dan mengarahkan
urusan-urusan yang menyangkut kenegaraan. Sementara, ‘massa’ merupakan
sekumpulan orang yang diasumsikan pasif. Kalau dalam ‘massa’, opini yang
beredar bersumber dari otoritas elit penguasa; dalam ‘ruang publik’, sumber
opini datang dari masyarakat sendiri. Opini dari ‘ruang publik’ juga memiliki
peran penting dalam aktivitas negara, tidak seperti suara massa yang dianggap
tidak signifikan. Keberadaan ‘publik’ yang benar-benar nyata memerlukan syarat
yang sulit direalisasikan dalam pemerintahan yang top-down dan hirarkis: 1)
kepemilikan media tidak bisa dimonopoli oleh segelintir orang; 2) setiap warga
negara—bahkan di pelosok negeri—harus memiliki akses ke ruang publik; 3)
perbedaan pendapat dan kontak antara berbagai manusia yang memiliki identitas
berbeda merupakan kebutuhan untuk mengayomi kehidupan kebersamaan bernegara.
Lalu apa rencana komunikasi negara dan warga negara dari program visi misi tim
Jokowi?
Konsep
komunikasi Jokowi pun menggunakan konsep ‘publik’ ini sebagai landasan
bernegara. Berikut kutipan-kutipannya:
‘5.
Kami akan membangun keterbukaan informasi dan komunikasi publik. Dalam
kebijakan informasi dan komunikasi publik, kami akan memberi penekanan pada 7
(tujuh) prioritas utama
a.
Kami akan menjalankan secara konsisten UU No. 12 Tahun 2008 tentang keterbukaan
Informasi Publik.
b.
Kami akan meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan
instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menghasilkan layanan
informasi yang berkualitas.
c.
Kami akan mewajibkan instansi pemerintah pusat dan daerah untuk membuat laporan
kinerja serta membuka akses informasi publik seperti diatur dalam UU No. 12
Tahun 2008 untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang
transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
d.
Kami akan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan
publik dengan meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan
publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik;
e.
Kami akan menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan
kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan
publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
f.
Kami akan menata kembali kepemilikan frekuensi penyiaran yang merupakan bagian
dari hajat hidup orang banyak sehingga tidak terjadi monopoli atau penguasaan
oleh sekelompok orang (kartel) industri penyiaran;
g.
Kami akan mendorong inovasi dan pengembangan industri teknologi informasi dan
komunikasi, sehingga Negara besar seperti Indonesia tidak sekedar menjadi pasar
bagi semua industri teknologi informasi dan komunikasi asing, tetapi mampu
menciptakan dan memproduksi teknologi informasi dan komunikasi serta menjadi
tuan rumah di Negara sendiri.’ (Halaman 17)
Juga
disebutkan:
‘d.
Kami akan menyediakan forum untuk melibatkan masyarakat dalam proses legislasi
dan menyediakan akses terhadap proses dan produk legislasi’
‘f.
‘Kami berkomitmen untuk mewujudkan Pelayanan Publik yang Bebas Korupsi melalui
teknologi informasi yang transparan’ 24
‘l.
Kami akan membuka keterlibatan publik dan media massa dalam pengawasan terhadap
upaya tindakan korupsi maupun proses penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi.’ (Halaman 25)
Tim
Jokowi cukup sensitif dengan syarat kondisi ‘ruang publik’ yang sudah
disebutkan di atas. Mereka berkomitmen untuk menata kembali kepemilikan
penyiaran yang selama ini dimonopoli segelintir orang (poin f) (lihat:
Penelitian Merlyna Lim). Mereka juga berkomitmen untuk melibatkan masyarakat
dalam proses legislasi. Komunikasi dua arah yang setara antara negara dan warga
negara dan kepastian agar warga negara untuk ikut dalam proses harian kehidupan
bernegara adalah salah satu manifestasi konsep ‘publik’.
‘Ruang
publik’ yang masih dikungkung dengan ketidakadilan hukum juga akan timpang.
Maka, perlu juga digarisbawahi program tim Jokowi yang tanpa takut dan malu
(unapologetic) disampaikan:
‘Kami
berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran
HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik
bagi bangsa Indonesia seperti; kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2,
Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965’
‘Kami
berkomitmen menghapus semua bentuk impunitas di dalam sistem hukum nasional,
termasuk di dalamnya merevisi UU Peradilan Militer yang pada masa lalu
merupakan salah satu sumber pelanggaran HAM’ (halaman 27)
Perbedaan
politik komunikasi di balik propaganda masing-masing capres ini dan juga
asumsinya tentang struktur kepemimpinan, mencerminkan gerak sejarah yang aktif
yang ada dalam masyarakat kita saat ini. Gramsci menerangkan bahwa hegemoni
menjelaskan aktivitas kelompok dominan di satu sisi dan kekuatan-kekuatan
progresif yang counter–hegemony di sisi lain. Model kepemimpinan hirarkis dan
top-down yang direplikasi Prabowo adalah hegemoni ‘residual’ yang terus hidup
dan diteruskan dari masa lalu hingga sekarang. Kepemimpinan model seperti ini
memang terus direproduksi bahkan dalam masyarakat sipil, misalnya dalam
struktur lembaga agama, hubungan patriarkal antara ayah dan anak/istri bahkan
antara dosen dan mahasiswa. Tidak heran ketika seorang anggota masyarakat yang
terbiasa dengan sistem ini mengelu-elukan seorang pemimpin yang kuat dan
tangguh, biasanya juga memiliki pandangan romantis tentang militer. Begitu
juga, tidak heran melihat mantan aktivis yang sekarang mendukung kepemimpinan
yang jelas tidak demokratis ini. Iming-iming ratu adil sangat efektif untuk
orang-orang yang ingin perubahan yg instan—yang tidak mau berkotor-kotor terjun
dan bergerak bersama masyarakat. Rasa aman yang dibangun berdasarkan rasa
takut, hanya menguntungkan pemimpin yang memanfaatkan rasa takut/paranoid
kolektif ini untuk kepentingannya. Padahal, bangsa yang “kuat, aman, makmur,
berdikari” justru harus dibangun dengan kesadaran dan bukan eksploitasi
paranoia kolektif.
Model
kepemimpinan yang dipromosikan Jokowi sama sekali baru—paling tidak dalam
sejarah bangsa kita. Hegemoni model komunikasi Jokowi adalah hegemoni yang
‘emergent’, muncul sebagai alternatif dari model kepemimpinan masa lalu,
sebagai counter-hegemony. Kedua hegemoni model Prabowo dan Jokowi sama-sama
dominan dalam masyarakat kita: ada pertarungan aktif antara model pemimpin
tradisional yang hirarkis vs. pemimpin baru yang berorientasi komunitas.
Sebagai gerak sejarah yang aktif, hegemoni selalu memperbaharui wajahnya.
Prabowo, misalnya, menunjukkan diri bukan saja sebagai seorang militer tangguh
yang nasionalis tetapi juga sebagai Muslim tulen. Identitas Muslim ini penting
dalam kancah politik pasca-Orde Baru. Dengan begitu, Prabowo dianggap merupakan
penggabungan segala kebutuhan koalisi antara elemen masyarakat yang paling
‘lengkap’. Saya letakkan tanda kutip untuk kata ‘lengkap’ karena jelas ini
hanyalah modus propaganda semata untuk memenangkan simpati kelompok-kelompok
yang tertarik pada isu-isu tunggal (single-issue group).
Kalau
hegemoni kelas penguasa selalu beradaptasi dengan memperbaharui diri, bagaimana
dengan counter-hegemony yang ada? Apakah kita cakap dalam memperbaharui taktik
dan strategi dalam bergerak? Jangan-jangan, kita melulu menggunakan teknik yang
sudah usang sehingga lagi-lagi tumbang?
Menurut
saya, tidak akan ada perubahan yang signifikan tanpa partisipasi masyarakat
yang sebenarnya dan tanpa keterbukaan untuk mendengar pluralitas ide, rasa,
nilai dan pikiran yang ada. Salah satu ideologi para intelektual borjuis yang
sukses adalah mitos bahwa demokrasi dan kesetaraan sosial dapat dicapai hanya
dengan pemilu tiap 5 tahun sekali dan parlemen—artinya nasib bangsa diputuskan
oleh segelintir pemimpin di parlemen. Tanpa partisipasi masyarakat dalam
kehidupan politik sehari-hari, janji-janji Prabowo maupun Jokowi belum tentu
menguntungkan masyarakat kelas bawah. Memilih apatis dan tidak melakukan
apa-apa, seperti dalam konteks kita misalnya golput, pun hanya menguntungkan
kelas penguasa, karena salah satu cara efektif mengontrol populasi adalah
justru dengan menimbulkan rasa apatisme—dengan membangkitkan rasa kecewa karena
kegagalan perjuangan di masa lalu—di satu sisi dan mengontrol konsensus di sisi
lain—sehingga suara perlawanan yang ada terus terpojok. Satu-satunya cara agar
masyarakat kelas bawah mendapatkan hak politiknya adalah dengan merebutnya.
Tidak bisa kalau masyarakat terus-terusan menunggu sisa-sisa makanan dari bawah
meja dan malas berjuang untuk mengklaim tempatnya di atas meja sejajar dengan
para penguasa—alih-alih berharap bisa mengambil alih kursi para penguasa ini.
Artinya, tidak bisa kita hanya menganggap bahwa perjuangan selesai dengan
mencoblos 5 tahun sekali.
Apa
tugas kita? Pemilu saat ini membuka ruang bagi kita untuk bergerak membentuk
komunitas kita masing-masing dan bekerjasama satu sama lain untuk membentuk
blok hegemoni masyarakat kelas bawah. Program Jokowi untuk membuka ‘ruang
publik’ pun dapat menjadi infrastruktur bagi tujuan tersebut. Tetapi, menurut
Gramsci, ini harus dicapai dengan cara yang ‘etis’ yang artinya kebenaran dan
konsensus tidak dapat dipaksakan secara top-down dan harus dibuat nyata melalui
dialog konkrit dan simpatik antara tiap anggota masyarakat. Sementara kita
diskusikan secara terbuka langkah-langkah apa yang bisa kita lakukan untuk
membentuk hegemoni masyarakat kelas pekerja ini, saya akan tutup tulisan ini
dengan sebuah kutipan inspiratif tentang sikap ‘dukungan kritis’, bukan dari
filsuf tersohor tetapi dari jalanan:
‘Setelah pilihan dan kemenangan
Kami akan mundur menarik dukungan
Membentuk barisan parlemen jalanan
Mengawasi amanah kekuasaan.’
(Lagu ‘Bersatu Padu Memilih No. 2′ oleh Kill the DJ &
Balance)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar