Rabu, 14 Oktober 2015

MOTIFASI

MOTIFASI UNTUK HATI YANG PATAH



Belajarlah kedepan
jangan berpaling
kebelakang
yang sudah berlalu biarlah berlalu
hadapi
masa depanmu yang akan datang

Jangan kau pinta
keikhlasan, ketulusan,
atau apapun yang kau sebut
pengertian dan makna cinta
sebab hatiku telah tergadai padamu..



"bentuk
kepribadianmu
karena itu akan
menjadi karaktermu
bangun karaktermu
karena itu akan
menentukan masa depanmu"



"langit tidak selamanya cerah
kadang hujanpun
membawa bencana
dan
sebuah perasaan juga
seringkali bisa terluka"



Kebahagiaan
akan datang menyelimuti
saat kita
memaafkan
diri kita sendiri,
memaafkan
orang lain
dan hidup
dengan rasa syukur"


 Saat aku memilih untuk diam
sebenarnya banyak yang ingin ku katakan
padamu
hanya saja ku rasa
tidak perlu
karena kau
tak akan pernah MENGERTI



Mawasangka, Kamis 15 Oktober 2015


CERITA RAKYAT DESA WAKAMBANGURA - BUTON TENGAH - SULAWESI TENGGARA


CERITA RAKYAT
DESA WAKAMBANGURA
KABUPATEN BUTON TENGAH - PROVINSI SULAWESI TENGGARA


Alkisah, Hiduplah pasangan suami-istri La Ure Bungke dan Wa Paitohu. Awalnya mereka melakukan pertapaan di beberapa penjuru tanjung, yaitu pertama Tanjung Dua Pohon, kedua Tanjung Kurumawu, ketiga Tanjung Weta dan keempat di Tanjung Labobo. Setelah selesai proses pertapaan mereka di empat tanjung tersebut, mereka kembali ke tanjung Weta untuk beristrahat dan bermalam disana. Tujuan pertapaan mereka adalah ingin memperoleh keturunan, saat itu mereka belum mempunyai keturunan, sementara usia mereka semakin hari semakin tua.

Beberapa hari kemudian istri La Ure Bungke pergi mencari kerang di laut. Wa Paitohu Secara Tiba-tiba mendengar tangisan seorang bayi perempuan di semak-semak pinggir pantai. Wa Paitohu segera mencari sumber suara dan betapa kagetnya ia menemukan sesosok bayi yang baru lahir yang masih merah berdarah dengan tali pusat (plasenta) yang belum di putuskan di bungkus dengan kain yang berwarna merah tua, perempuan itu menghampiri bayi tersebut, dan mencoba mencari ibu anak tersebut. Setelah memeriksa disekelilingnya, Wa Paitohu tak melihat seorang manusiapun, maka di ambillah bayi tersebut dengan niat di jadikan seorang anak.

Di Peliharalah anak perempuan tersebut oleh suami-istri tersebut, La Ure Bungke dan Wa Paitohu hingga dewasa dan di beri nama Putri Wakambangura.

Putri Wakambangura tumbuh dewasa dan menjadi seorang Bunga Desa yang cantik jelita. Karena kecantikanya Putri Wakambangura di sukai banyak laki-laki dari seluruh penjuru desa. Hingga suatu saat datanglah seorang pemuda tampan yang bernama La Raja Nsulema yang disebut Pangeran Laut (La Ode no Pasi).

La Raja Nsulema jatuh cinta pada Putri Wakambangura dan akibat dari besarnya rasa sayangnya pada Putri Wakambangura muncullah niatan sucinya menemui orangtua angkat Putri Wakambangura yaitu La Ure Bungke dan Wa Paitohu, niatnya tak lain semata-mata ingin mempersunting Putri Wakambangura.

Namun apa hendak dikata, setelah bertemu orangtua Putri Wakambangura, La Raja Nsulema ditolak, mereka tidak setuju dengan niatan La Raja Nsulema untuk menikahi anak semata wayang yang mereka temukan sejak masih bayi karena berbagai macam alasan.

Beberapa hari kemudian karena keseriusan dan rasa sayangnya pada Putri Wakambangura, La Raja Nsulema tidak menyerah dan Ia berniat mendatangi orang tua Putri Wakambangura kembali. Saat Kedatangan yang kedua kalinya orang tua Putri Wakambangura tidak berada dirumah. Saat itulah La Raja Nsulema tidak memiliki pilihan lain selain membawa Putri Wakambangura ke Laut dan untuk dijadikan permaisurinya.

Putri Wakambangura dinyatakan hilang dan tidak diketahui lagi keberadaanya sejak di bawa oleh La Raja Nsulema ke laut hingga sekarang. Orang tua Putri Wakambangura merasa sedih dan sangat kehilangan putri yang sangat mereka sayangi. Oleh karena itu mereka selalu mengadakan upacara memperingati kepergian putri semata wayang mereka tersebut.



Narasumber    : SYAHRIR/ Kepala Desa Wakambangura
Editor               : MUHAMMAD SHABUUR, S.Pd


Selasa, 13 Oktober 2015

POLITIK SYAR’I DAN POLITIK NON SYAR’I



POLITIK SYAR’I DAN POLITIK NON SYAR’I



Dalam buku Fikih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna, Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris menulis: ”Jadi politik itu terbagi menjadi dua macam: politik syar’i (politik Islam) dan politik non syar’i (politik non Islam). Politik syar’i berarti upaya membawa semua manusia kepada pandangan syar’i dan khilafah (sistem pemerintahan Islam) yang berfungsi untuk menjaga agama (Islam) dan urusan dunia. Adapun politik non syar’i atau politik versi manusia adalah politik yang membawa orang kepada pandangan manusia yang diterjemahkan ke undang-undang ciptaan manusia dan hukum lainnya sebagai pengganti bagi syari’at Islam dan bisa saja bertentangan dengan Islam. Politik seperti ini menolak politik syar’i karena merupakan politik yang tidak memiliki agama. Sedangkan politik yang tidak memiliki agama adalah politik jahiliyah.”

Semenjak tahun 1924 ummat Islam tidak lagi hidup di bawah naungan sistem Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegaranya. Bahkan di berbagai penjuru dunia Islam dideklarasikan berdirinya negara-negara dengan konsep nation-state (negara-kebangsaan). Mulailah kaum muslimin mengekor kepada negara-negara kafir yang mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan keanekaragaman suku dan bangsa. Sebelumnya ketika Khilafah Islamiyyah masih tegak ummat Islam hanya memahami manusia berdasarkan pembagian yang Allah gambarkan di dalam Al-Qur’an, yaitu manusia beriman (Al-Mu’minun) dan manusia kafir (Al-Kafirun).

Ketika Khilafah masih tegak ummat Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara urusan agama dengan berbagai urusan kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak ada pemisahan antara kehidupan beragama dalam tataran kehidupan individual maupun sosial. Namun semenjak faham negara-aqidah dihapuskan lalu diganti dengan ideologi nasionalisme mulailah kaum muslimin mengalami pergeseran tolok ukur. Aqidah Islam yang sebelumnya dijadikan sebagai perekat utama masyarakat dilokalisir menjadi sebatas keyakinan individual muslim. Sedangkan masyarakat diarahkan untuk menjadikan etnisitas kebangsaan sebagai perekat kehidupan sosial. Seolah agama hanya berlaku dalam tataran pribadi, sedangkan dalam tataran sosial agama harus dikesampingkan. Kemudian muncullah ajaran primordial kebangsaan yang menggantikan agama sebagai identitas dan perekat sosial.

Dalam buku Petunjuk Jalan bab Tumbuhnya Masyarakat Islam dan Ciri Khasnya, Sayyid Qutb menulis: ”Sesungguhnya dakwah Islam yang dibawa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam merupakan mata rantai terakhir dari rangkaian dakwah dan seruan ke jalan Islam yang telah berjalan lama di bawah pimpinan para Rasul dan utusan-utusan Allah yang mulia. Dakwah ini di sepanjang sejarah wujud manusia mempunyai sasaran dan tujuan yang satu. Yaitu, membimbing manusia untuk mengenal Ilah mereka yang Maha Esa dan Yang Maha Benar, agar mereka menyembah dan mengabdi hanya kepada Ilah Yang Maha Esa dan mengubur segala penuhanan terhadap sesama makhluk.

Seluruh umat manusia kecuali segelintir orang saja, tidak ingkar dengan dasar ketuhanan dan tidak menafikan wujudnya Tuhan; tetapi mereka salah pilih dalam hal mengenal hakikat Tuhan yang benar. Mereka menyekutukan Tuhan yang benar dengan tuhan-tuhan yang lain. Bisa dalam bentuk ibadat dan akidah, atau pun dalam bentuk ketaatan di bidang pemerintahan dan kekuasaan.

Dua bentuk itu adalah SYIRIK yang bisa menyebabkan manusia keluar dari agama Allah. Padahal para Rasul sudah mengenalkan Allah swt. kepada mereka. Tapi, mereka mengingkariNya setelah berlalu beberapa masa dan generasi. Mereka pun kembali ke alam jahiliyah, kemudian kembali mensyirikkan Allah, baik dalam bentuk akidah dan ibadat, atau dalam bentuk ketaatan di bidang pemerintahan, atau pun di dalam dua bentuk itu sekaligus.

Inilah dia tabiat dakwah ke jalan Allah di sepanjang sejarah umat manusia. Ia mempunyai tujuan dan sasaran yang satu yaitu “ISLAM (MENYERAH)” di dalam pengertian penyerahan diri sepenuhnya, penyerahan diri dan kepatuhan para hamba kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam, menarik umat manusia keluar dari mengabdikan diri kepada sesama hamba Allah, kepada suasana menyembah dan mengabdikan diri kepada Allah SWT, membawa mereka keluar dari sikap patuh dan tunduk kepada sesama hamba Allah di dalam urusan peraturan hidup dan pemerintahan, nilai-nilai dan kebudayaan, untuk bersikap patuh dan tunduk kepada kekuasaan pemerintahan dan peraturan Allah saja di dalam semua urusan hidup.”

Untuk inilah Islam datang melalui Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sebagaimana ia datang melalui para Rasul sebelum beliau. Ia datang untuk membawa umat manusia patuh kepada kekuasaan dan pemerintahan Allah seperti seluruh alam ini berjalan mengikuti landasan peraturan Allah.”

Sebuah masyarakat Islam berbeda samasekali dari masyarakat Jahiliyyah. Masyarakat Islam berdiri di atas fondasi aqidah La Ilaha Illa Allah, keyakinan bahwa hanya Allah sajalah satu-satunya tempat memuja, memuji, memohon pertolongan, menyerahkan kepatuhan dan loyalitas total. Penghambaan kepada Allah bukan tercermin dalam urusan ibadah ritual-formal belaka. Tetapi ia juga tercermin dalam aspek nilai-nilai moral serta hukum-hukum pribadi maupun sosial yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.

Sedangkan sebuah masyarakat Jahiliyyah berdiri di atas fondasi bahwa sesama manusia pantas untuk dipuji, dipuja, dimintai pertolongannya, diserahkan kepatuhan dan loyalitas kepadanya. Oleh karenanya di dalam masyarakat seperti ini akan selalu hadir para thaghut, yaitu fihak yang sedikit saja memperoleh kekuasaan lalu berlaku melampaui batas sehingga menuntut ketaatan dari para rakyatnya, pengikutnya, muridnya, bawahannya. Dalam sejarah kemanusiaan Allah abadikan di dalam AlQur’an gambaran sosok thaghut paling ideal yaitu Fir’aun. Fir’aun telah sedemikian rupa berlaku sombong sehingga sampai hati memproklamirkan dirinya di hadapan rakyat Mesir yang ia pimpin dengan kalimat: ”Akulah tuhan kalian yang Maha Mulia.”

Tetapi Fir’aun mendustakan dan mendurhakai. Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya. (Seraya) berkata: “Akulah tuhanmu yang paling tinggi”. (QS AnNaziat ayat 21-24)

Itulah sebabnya mengapa segenap para Nabi dan Rasul utusan Allah menyampaikan suatu seruan universal yang berlaku sepanjang zaman. Yaitu seruan kepada umatnya masing-masing agar menyembah Allah semata dan menjauhkan diri dari para thaghut.

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” (QS An-Nahl ayat 36)

Politik Islam adalah politik syar’i. Ia merupakan politik yang berlandaskan konsepsi mendasar aqidah Islamiyyah, yaitu La Ilaha Illa Allah, keyakinan bahwa hanya Allah sajalah satu-satunya tempat memuja, memuji, memohon pertolongan, menyerahkan kepatuhan dan loyalitas total. Politik Islam pasti akan menghantarkan masyarakat untuk membentuk diri menjadi masyarakat Islam. Sedangkan politik jahiliyyah merupakan politik yang tidak syar’i. Politik jahiliyyah akan menghasilkan tumbuhnya sebuah masyarakat jahiliyyah lengkap dengan suburnya eksistensi para thaghut di dalamnya. Politik seperti ini akan menyebabkan manusia sadar tidak sadar menghamba kepada sesama manusia.

Mengomentari kondisi realita umat Islam dewasa ini semenjak tidak lagi hidup di bawah naungan sistem Khilafah Islamiyyah yang telah runtuh 85 tahun yang lalu, maka Said Hawwa dalam kitabnya Jundullah menulis:”Akibatnya, hilanglah Islam dari kehidupan manusia secarahampir sempurna. Hilanglah sistem politiknya, dan hilanglah konsepnya dari umat, untuk digantikan dengan konsep nasionalisme. Konsepnya hilang dari negara, untuk digantikan dengan konsep lain. Juga hilang dari ruang pengadilan, untuk digantikan yang lain. Syariatnya hilang digantikan dengan perundangan lain. Konsepnya hilang dari ruang-ruang permusyawaratan, untuk digantikan konsep demokrasi Timur atau Barat. Konsepnya hilang dari kekuasaan eksekutif untukdigantikan dengan konsep jahiliah secara total. Konsepnya hilang dari partai-partai yang Rabbani untuk digantikan oleh sistem kepartaian jahiliah.”

Saudaraku, marilah dengan penuh kesabaran kita meniti kembali jalan perjuangan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat ketika mereka masih tertindas di kota Mekkah sebelum hijrah ke Madinah. Marilah kita pelajari kembali bagaimana Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat berjuang tanpa sedikitpun berfikir untuk berkompromi dengan sistem jahiliyyah dan para thaghutnya ketika mereka masih lemah sekalipun. Sebab mereka hanya punya satu cita-cita, yaitu mengembalikan hati manusia ke dalam pangkuan aqidah kalimat tauhid dimana manusia diajak untuk hanya menghamba kepada Allah dan tunduk kepada syariatNya. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat tidak pernah sejenakpun bertoleransi dengan aqidah kemusyrikan dan tunduk kepada sistem jahiliyyah yang berlaku, betapapun resikonya mereka terpaksa mengalami berbagai ujian, tekanan, penyiksaan, penindasan bahkan pembunuhan.

Saudaraku, bagaimanapun kita perlu memahami bahwa Politik Islam tidaklah sama dengan Politik Jahiliyyah. Berbeda satu sama lain dalam hal landasan keyakinannya, semangatnya, fikrah-ideologinya, sistem pembentukannya, budayanya, tingkah-laku para pelakunya. Yang jelas, keduanya sangat berbeda secara fundamental dalam hal siapa yang dijadikan pusat kesetiaan, penghambaan dan ketergantungan.

Politik Islam sejak hari pertama telah memproklamirkan dirinya sebagai sebuah mega-proyek untuk pembebasan manusia dari penghambaan sesama manusia untuk hanya menghamba kepada Allah semata. Sedangkan Politik Jahiliyyah menjadikan sesama manusia sebagai tempat menyerahkan loyalitas, ketaatan dan ketergantungan sehingga suburlah di dalamnya para thaghut…!!


Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu adalah benar dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang batil itu adalah batil dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya. Amin.-


 SEKIAN DAN TERIMAKASIH

SEBUAH PEMIKIRAN ANTARA ISLAM DAN DEMOKRASI

ANTARA ISLAM DAN DEMOKRASI




Pertanyaan yang selalu hadir dalam benak setiap orang yang hidup dalam sebuah sistem demokrasi adalah :

Apakah Islam dapat di sandingkan dengan demokrasi yang kental dengan budaya baratnya…?
Apakah mereka dapat seiring sejalan…?
Apakah demokrasi barat mengambil konsep dari Islam…?
Apakah sebaliknya Islam mengambil nilai nilai demokrasi yang telah berkembang di Yunani…?
Apakah konsep nilai Islam telah berubah karena zaman sudah berubah pula, dan karena saat ini penduduk dunia semakin banyak hingga dibutuhkanlah sebuah sistem yang berguna untuk menyederhanakan dalam sistem pemerintahan, makanya kaum muslim bersedia menerima konsep demokrasi barat sebagai jalan keluar yang modern…?

Coba pikirkan mengapa barat (Amerika dan sekutunya) selalu mengirimkan pasukan perangnya bila ada suatu negara menolak sistem demokrasi barat…?
Mengapa Amerika dan sekutunya tidak merasa perlu mengirimkan pasukan senjata perangnya bila suatu negara muslim sudah mengadopsi sistem demokrasi barat dalam pemerintahannya…?
Apakah demokrasi itu merupakan cara hidup kaum barat…?
Dan bila ada Negara muslim memakai sistem tersebut, kaum barat sudah merasakan negara muslim demokrasi tersebut sudah satu millah / din yang sama dengan mereka…?
Jadi tidak perlu berperang…?

Jutaan pertanyaan yang cukup buat kita terngiang.

Berikut adalah beberapa analisis pemikir Islam, semoga hal hal tersebut terurai sedikit demi sedikit kenapa kita harus selalu memegang harta termahal kita yaitu Islam.

Abul Ala Maududi dalam bukunya Human Right in Islam, terbitan The Islamic Foundation, London, menjelaskan perbedaan mendasar antarkeduanya, Islam dan demokrasi barat. Dan ternyata tidak terdapat irisan dan titik singgung antar kedua sistem tersebut. Singkatnya, tidak ada penyandingan yang layak antar kedua system tersebut, tidak ada Islam demokrasi.

Demokrasi barat didasarkan atas kedaulatan rakyat. Sedang Islam, kedaulatan hanya ada di tangan Allah, dan manusia /masyarakat hanyalah khalifah-khalifah atau wakil-wakilnya. Demokrasi barat, masyarakatlah yang membuat hukum hukum mereka sendiri. Sedang Islam, masyarakatnya harus tunduk pada hukum hukum Allah (syariat Allah) yang diberikan-Nya melalui rasul-Nya.

Demokrasi barat, pemerintah memenuhi apapun kehendak rakyat. Sedang Islam, pemerintah dan rakyat yang membentuk pemerintahan, kedua-duanya harus memenuhi kehendak dan tujuan Allah.

Demokrasi Barat adalah semacam wewenang mutlak yang menjalankan kekuasaan-kekuasaannya dengan cara bebas dan tidak terkontrol. Sedang Islam, adalah kepatuhan kepada hukum Allah, dan melaksanakan wewenangnya sesuai dengan perintah perintah Allah dan dalam batas batas yang telah digariskan oleh-Nya.

Muhammad Assad, dalam bukunya Minhaj Al Islam fi al Hukumi, konsep demokrasi asli yang dimiliki oleh bangsa yunani, Negara penemu sistem demokrasi berawal. Bagi bangsa yunani (kuno), istilah pemerintahan dari rakyat untuk rakyat, yang merupakan inti dari demokrasi, dimaksudkan sebagai suatu pemerintahan oligarchis, suatu pemerintahan yang dipegang oleh elite tertentu yang tidak mencakup seluruh rakyat.

Di dalam Negara-negara yang pernah ada pada masa mereka, istilah rakyat berarti warga negara sejati yang merupakan penduduk yang dilahirkan secara merdeka yang lazimnya jumlahnya tidak lebih dari seper-sepuluh jumlah penduduk yang ada. Sedangkan sisanya yang Sembilan puluh persen itu terdiri dari budak budak dan hamba sahaya yang tidak diberi kesempatan melakukan aktifitas apapun selain pekerjaan pekerjaan fisik yang kasar, dan mereka, sekalipun tetap diwajibkan berpartisipasi dalam pertahanan negara,sama sekali tidak diberi hak dalam hal kewarga negaraan. Hanya warga Negara sejati itu (yang hanya 10%) sajalah yang memegang hak kebebasan aktif maupun pasif, yang dengan demikian seluruh kekuasaan politik berpusat sepenuhnya ditangan mereka.

Sebuah sistem yang katanya menuntut persamaan, hak asasi manusia, tapi nyatanya persamaan dan hak asasi manusia itu semu dan hanya berlaku bagi warga negara khusus antara mereka saja. Sistem yang berlaku bila hanya kelompok yang mereka setujui saja yang memenangi pemilihan umum, dan tidak berlaku bila kelompok Islam yang memenangi pemilihan rakyat, lihatlah FIS di Aljazair, Lihatlah Hamas di Palestina dan terakhir kemenangan ikhwanul muslimin di Mesir.

Sistem demokrasi adalah sebuah sistem jadi jadian mereka, jebakan politik, sistem yang menuruti sekehendak hawa nafsu dan syahwat kelompok borjuis saja, dan tidak berlaku bagi yang mereka anggap sebagai musuh bersama mereka.


Semoga keterangan ini menjadi jelas adanya, dan di saat kehidupan akhir zaman ini, kedua sistem tersebut mengemuka dan menjadi pilihan bagi umat, nah sekarang kembali kepada anda, dalam kedua sistem tersebut, kembali ke anda sebagai manusia dan hamba Allah, yang kelak semua hal yang kita lakukan didunia ini akan diminta pertanggung jawaban di akhirat kelak mana yang anda yakini dan berniat berusaha untuk meninggikannya...?


SEKIAN DAN TERIMAKASIH

DESA WATORUMBE

SELAYANG PANDANG   DESA WATORUMBE KECAMATAN MAWASANGKA TENGAH KABUPATEN BUTON TENGAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA        ...